Pages

“Kemusuk Bergemuruh Lagi” Sebuah Refleksi

Posted on 2/07/2011 by SEDULUR-MUSUK

Kemusuk bergemuruh. Tahun 1949, nama dusun kecil itu tiba-tiba mencuat dan banyak dibicarakan orang. Karena pada agresi militer Belanda ke – 2, rakyat seluruh Kemusuk bangkit mengangkat senjata untuk mempertahankan setiap jengkal bumi pertiwi. Tidak kurang 126 warga yang meninggal kala itu menjadi korbannya.

Awal tahun 2008, Kemusuk bergemuruh lagi. Soeharto, putra Kemusuk yang telah menjadi orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun, sakit hingga akhirnya meninggal. Warga Kemusuk sejak Pak Harto masuk RSPP Jakarta tiada henti-hentinya mengalunkan doa dan dzikir untuk mendoakan agar Pak Harto diberi kesembuhan, walaupun akhirnya Tuhan berkendak lain. Beliau meninggal pada Ahad, 27 Januari 2008 pada pukul 13.10 Wib. Nuansa spiritual di Kemusuk kembali bergemuruh, ribuan orang berdoa dan bahkan banyak yang luar daerah berbondong-bondong datang ke dusun kecil ini untuk bersimpati dan ikut bersama warga Kemusuk untuk mendoakan “mendiang” Pak Harto. Media cetak maupun elektronik juga tidak mau ketinggalan, ikut berlomba-lomba mencari dan meliput beritanya. Sehingga dalam beberapa minggu Kemusuk menjadi salah satu fokus utama berita di berbagai media nasional maupun internasional.

Sebagai wujud penghormatan pemerintahpun ikut menyerukan kepada bangsa Indonesia dengan menelorkan hari berkabung nasional selama tujuh hari sebagai wujud perhormatan dan kehilangan salah satu putra terbaiknya..

Pak Harto, akhir-akhir ini baik di media cetak dan elektronik maupun khalayak ramai membicarakan lebih banyak dikaitkan dengan dengan tiga “kata” yaitu Kemusuk, Kalitan & Astana Giribangun dan Cendana. Ini tentu karena sejak sakit hingga meninggalnya tempat-tempat inilah yang menjadi perhatian masyarakat Bila kita cermati ketiganya dapat kita uraiakan secara singkat bahwa Kemusuk merupakan tempat kelahiran, tumpah darah dan basis perjuangan Pak Harto dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian Kalitan dan Astana Giri Bangun adalah tepat tinggal dari keluarga silsilah Ibu Siti Hartinah Soeharto (atau ibu Tin soeharto) dan Astana Giribangun adalah tempat yang dipilih keluarga Cendana sebagai persemayaman terakhir Pak Harto. Cendana adalah tempat tinggal keluarga Pak Harto di Jakarta termasuk dalam memimpin Negara selama 32 tahun

Kemusuk, sebetulnya hanya sebuah dusun kecil. Dulu awalnya adalah sebuah kelurahan tetapi sejak tahun 1946 menggabung dengan kelurahan Argomulyo ketika diberlakukanya aturan otonomi bagi DIY. Sejak itu pula nama Kemusuk dan Argomulyo menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dan uniknya orang luar tetap lebih mengenal nama Kemusuk daripada Argomulyo sebagai induknya.

Dalam tata pemerintahan, Kemusuk sekarang terpecah terdiri dari tiga dusun/kring yaitu Srontakan, Kemusuk Kidul dan Kemusuk lor. Ketiga dusun ini di bawah pemerintahan Desa Argomulyo Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul DIY.

Dari pusat kota Daerah Istimewa Yogyakarta, Kemusuk dan Argomulyo berada di sebelah barat daya dengan jarak sekitar 10 kilometer.

Menurut cerita, nama Kemusuk ini berasal dari ungkapan jawa yaitu : “ketemu suk” (besok bakal bertemu). Ungkapan ini disampaikan oleh Ki Wongsomenggolo, yang merupakan figur seorang kesatria arif dan bijaksana yang turut andil dalam melawan Kolonial Belanda sekaligus berandil dalam berdirinya keraton Ngayogyakarta Hadiningkrat.

Maksud ucapan Ki Wongsomenggolo, orang yang sangat dihormati dan kharismatik pada masa itu selajutnya oleh masyarakat waktu itu menjadi sangat popular dan lazimnya orang jawa kata “ketemu suk” menjadi tetenger (nama popular) desa tersebut dan lebih selanjutnya “ilat jawa” (lidah jawa) lebih gampang menyebut dengan nama “Kemusuk”.

Sementara itu nama Ki Wongsomenggolo sendiri sekarang diabadikan oleh trah Wongso menggolo menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta yang berada di desa yaitu Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta yang terletak di Desa Argomulyo tepatnya di Jln Wates Km 10 Yogyakarta.

Salah satu hal dari Kemusuk yang terus mendapat kenangan bagi warga Yogyakarta adalah, Kemusuk sebagai salah satu basis perjuangan dan semangat heroisme untuk mempertahan kemerdekaan Republik Indonesia. Desa dengan penuh dinamika perjuangan itu muncul ke permukaan pada 19 Desember 1949. Sejak saat itu nama dusun kecil ini mulai mencuat, mula-mula gaung namanya di kenal di dusun sekitar, kemudian terkenal se-DI Yogyakarta, terus berkembang se-Indonesia. Dan, ketika salah seorang putra Kemusuk yang lahir pada tanggal 8 Juli 1921 dengan nama Soeharto, yang kelak kemudian menjadi orang nomor satu di Republic ini, nama Kemusuk tersohor di seluruh planet bumi. Sebagai bentuk dan bukti perjuangan warga Kemusuk sekarang masih gagah berdiri berbagai monumen perjuangan, seperti Monument Setu Legi yang berdiri tegak tengah-tengah komplek Balai Desa Argomulyo, kemudian Monumen Somenggalan berada tengah-tengah dusun Kemusuk, ada lagi Monumen Brimob di dusun Sengon karang, Argomulyo.

Selain nama besar Soeharto yang telah mengangkat nama Kemusuk, juga lahir nama-nama kebanggaan yang muncul dari Kemusuk seperti Probosoetedjo, Sudwikatmono, bahkan juga (Alm) R. Notosoewito. Nama terakhir ini merupakan mantan kepala desa Argomulyo yang telah memimpin desa ini selama lebih dari 30 tahun.

Kemusuk, tentu saja bukan hanya bernilai bagi Pak Harto semata, tapi juga seorang anak yang biasa dipanggil “Tedjo”, ini adalah nama panggilan dari Probosoetedjo di waktu kecil. Kehidupan kala itu yang sangat meprihatinkan menempanya menjadi orang yang sangat peduli dengan memiskinan dan pertanian. Dan kemiskinan di desa biasanya terkait erat dengan para “wong tani” inilah yang melatarbelakangi sehingga menjadikan seorang ”Tedjo” kecil menjadi peduli akan pendidikan dan nasib petani, disamping beliau sendiri pernah menjadi orang guru SD, sebelum akhirnya terjun ke dunia bisnis.

Nama probosetedjo yang berhasil di bidang bisnis, Sudwikatmono yang juga dikenal sebagai pebisnis yang sukses juga warga yang berasal dan berketurunan dari Kemusuk. “Dwi” demikian panggilan dari Sudwikatmono adalah profil pengusaha sukses yang merangkak dari bawah, malah pernah “kulakan” sepeda bekas di pasar Godean, dekat Kemusuk.

Seperti tokoh-tokoh lainnya, (Alm) R. Notosoewito yang meninggal 2 tahun lalu, adalah anak kelahiran Kemusuk pada tanggal 14 Juli 1963. “Wito”, demikian panggilan beliau dikala kecil. Beliau adalah Kepada Desa Argomulya yang sangat dihormati oleh warganya, selain sebagian besar hidupnya diabdikan pada rakyat, juga perhatiannya yang luar biasa pada pembangunan pertanian juga sektor spiritual. Kemajuan Argomulyo saat ini tidak bisa dilepaskan dari kenangan kerja keras seorang yang kecilnya hanya penggembala kambing yang popular dengan sebutan “wito”

Basik ungulan di Kemusuk Argomulyo saat ini adalah dalam bidang pendidikan. Pak Probosutedjo selaku putra Kemusuk senantiasa mencanangkan idealismenya melalui pengadaan “monument hidup” yang berujud pengadaan sarana pendidikan masyarakat. Sebagai bukti nyata pesatnya pendidikan di Kemusuk Argomulyo, kelihatan dari banyaknya jumlah sekolah baik negeri maupun swasta. Mulai dari jenjang pendidikan terendah berupa kelompok bermain (playgroup) hingga perguruan tinggi. Mungkin untuk jenjang pendidikan SD hingga SLTA, hampir semua daerah memiliki, tetapi keunggulan di Kemusuk Argomulyo ini, justru hanya di sebuah desa kecil muncul sebuah perguruan tinggi yang megah.

Pak Probosutejo sebagai putra Kemusuk adalah figur dengan idealisme tinggi dalam kemajuan pendidikan, beliau mendirikan perguruan tinggi dengan mengambil nama cikal bakal dari Kemusuk yaitu Ki Wongso Manggolo menjadi menjadi sebuah PTS yaitu Universitas Wangsa Manggala atau UNWAMA. Sesuai dengan lokasi yang berada di pedesaan yang dekat dengan “sawah”. Pak probosoetedjo yang sangat peduli dengan kehidupan “wong deso” yang tidak lepas dengan per”tani”annya. Untuk itulah sampai saat ini Unwama sebagai produk Kemusuk tetap mempertahankan ilmunya “wong ndeso” dengan adanya Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian selain Ekonomi, Psikologi dan Teknik.

Tampaknya Kemusuk yang sekarang dan mendatang akan mendapat tantangan yang lain dan beda dari pendahulu-pendahulunya. Nama-nama besar “trak” Kemusuk yang sudah mengarumkan dan membangun Kemusuk Argomulyo perlu diteruskan lagi oleh “harto-harto” kecil, atau “tedjo-tedjo” kecil di waktu-waktu mendatang yang penuh dengan tantangan baru.

Terlepas dari segala kekurangan dan kesalahan, Warga Kemusuk Argomulyo sudah sepatutnya untuk berterimasih kepada Pak Harto yang telah membuat bangga Kemusuk karena telah memimpin Bangsa Indonesia untuk membangun sehingga mendapat julukan “Bapak Pembanguan Indonesia”. Akhirnya selamat jalan Pak Harto, semoga Allah SWT menerima amal kebajikan dan mengampuni segala kesalahan. Amin. “selamat jalan Pak Harto”. ( Widarta, SE tokoh masyarakat Kemusuk Argomulyo Sedayu)